Mengembalikan Nafas Pantai: Ketika Masyarakat Donggala Bersatu Menyelamatkan Mangrove

Di balik hiruk-pikuk penanaman bibit, tersimpan harapan besar untuk mengembalikan fungsi ekologis kawasan pesisir yang telah terdegradasi
pojokDONGGALA | Minggu (27/7/2025), Pantai Baturuko di Desa Lalombi tampak berbeda. Biasanya sepi, kini ramai dengan puluhan orang yang sibuk membawa bibit mangrove dalam polybag kecil. Ada anak-anak yang antusias mengangkat ember berisi lumpur, ada pula orang tua yang dengan sabar menjelaskan teknik penanaman yang benar.
Firda, ketua kelompok SALAMA (Sahabat Laut dan Mangrove), berdiri di pinggir pantai sambil mengamati aktivitas yang berlangsung. Matanya berbinar melihat antusiasme warga yang datang dari enam desa pesisir Kabupaten Donggala. “Dulu kami hanya tahu menanam mangrove asal tanam saja. Sekarang kami paham betul prosesnya,” katanya sambil tersenyum.
Hari itu bukan sekadar hari penanaman biasa. Ini adalah momen bersejarah bagi enam desa pesisir Donggala yang resmi meluncurkan program rehabilitasi mangrove seluas 25 hektar. Sebuah inisiatif yang lahir dari kesadaran kolektif masyarakat akan pentingnya ekosistem mangrove bagi kehidupan mereka.
Dari Degradasi Menuju Rehabilitasi
Donggala bukanlah wilayah yang asing dengan mangrove. Puluhan tahun lalu, kawasan pesisir kabupaten ini masih hijau dengan hamparan bakau yang lebat. Namun, seiring waktu, kombinasi antara aktivitas manusia, perubahan iklim, dan kurangnya kesadaran konservasi membuat ekosistem ini perlahan terdegradasi.
“Dulu, nenek moyang kami hidup berdampingan dengan mangrove. Mereka mencari ikan, kepiting, dan kerang di sela-sela akar bakau,” cerita salah seorang tetua dari Desa Tompe. “Sekarang, banyak area yang gundul. Abrasi semakin parah, dan hasil tangkapan nelayan juga menurun.”
Keprihatinan inilah yang mendorong Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia dan Yayasan Bonebula untuk hadir. Bukan dengan pendekatan top-down yang biasa dilakukan proyek-proyek konservasi, tetapi dengan metodologi yang benar-benar partisipatif.
“Kami tidak datang dengan blueprint yang sudah jadi,” jelas Andi Anwar, Direktur Eksekutif Yayasan Bonebula. “Semuanya dirancang bersama masyarakat, dari pemetaan kawasan, pemilihan lokasi, hingga teknik rehabilitasi yang akan digunakan.”

Proses Panjang Menuju Kesepakatan
Sebelum bibit-bibit mangrove ditanam pada Minggu pagi itu, telah berlangsung proses yang tidak sederhana. Selama berbulan-bulan, tim YKL dan Bonebula melakukan serangkaian kegiatan preparasi yang melibatkan masyarakat dari enam desa: Lalombi, Tolongano, Tompe, Lompio, serta Kelurahan Labuan Bajo dan Tanjung Batu.
Dimulai dari studi pustaka untuk memahami kondisi ekologis kawasan, dilanjutkan dengan pemetaan partisipatif di mana masyarakat sendiri yang menentukan area mana yang paling membutuhkan rehabilitasi. Proses ini tidak mudah karena melibatkan diskusi panjang antara berbagai kepentingan.
“Ada area yang masih digunakan untuk tambak, ada juga yang sudah menjadi pemukiman,” kata Nirwan Dessibali, Direktur Eksekutif YKL Indonesia. “Kami harus mencari titik temu yang mengakomodasi kepentingan ekonomi masyarakat sekaligus tujuan konservasi.”
Yang menarik dari pendekatan ini adalah penggunaan tiga metode rehabilitasi sekaligus: Ecological Mangrove Rehabilitation (EMR), Assisted Natural Regeneration (ANR), penanaman langsung, dan penyebaran benih. Setiap metode dipilih berdasarkan kondisi spesifik lokasi yang telah dipetakan bersama masyarakat.
Lebih dari Sekadar Menanam Pohon
Program ini merupakan bagian dari Program SOLUSI (Solusi Pengelolaan Lanskap Darat dan Laut Terpadu di Indonesia), sebuah kemitraan ambisius antara pemerintah Indonesia dan Jerman untuk menangani degradasi ekosistem di berbagai wilayah.
“Kami percaya bahwa rehabilitasi mangrove bukan hanya soal menanam pohon,” tegas Andi Anwar. “Ini tentang mengembalikan fungsi ekologis dan sosial kawasan pesisir secara utuh.”
Fungsi ekologis yang dimaksud mencakup perlindungan dari abrasi, habitat bagi berbagai spesies laut, dan penyerap karbon alami. Sementara fungsi sosial berkaitan dengan mata pencaharian masyarakat pesisir yang bergantung pada ekosistem mangrove.
Firda dari kelompok SALAMA mengaku sekarang lebih memahami kompleksitas ekosistem mangrove. “Ternyata tidak semua tempat cocok untuk semua jenis mangrove. Ada yang harus ditanam di area yang selalu terendam air, ada yang di zona pasang surut, ada juga yang di area yang jarang terendam,” jelasnya.
Komitmen Jangka Panjang
Yang membedakan program ini dengan inisiatif penanaman mangrove lainnya adalah komitmen jangka panjang. Rehabilitasi tidak berhenti pada penanaman, tetapi berlanjut dengan monitoring dan evaluasi selama dua tahun ke depan.
Data pertumbuhan akan dikumpulkan secara berkala oleh masyarakat sendiri yang telah dilatih. Mereka akan memantau tingkat keberhasilan tumbuh, mengidentifikasi masalah yang muncul, dan melakukan perawatan yang diperlukan.
“Ini bukan proyek sekali jalan,” kata Nirwan. “Kami ingin memastikan bahwa mangrove yang ditanam benar-benar tumbuh dan berkembang menjadi ekosistem yang fungsional.”
Sistem monitoring yang dikembangkan juga akan menjadi pembelajaran bagi wilayah lain yang ingin melakukan rehabilitasi serupa. Data dan pengalaman dari Donggala akan didokumentasikan sebagai best practice yang bisa direplikasi.
Harapan untuk Masa Depan
Ketika matahari mulai naik dan kegiatan penanaman mendekati akhir, para peserta berkumpul di bawah pohon kelapa untuk refleksi bersama. Wajah-wajah yang lelah namun puas terlihat jelas. Mereka telah menanam lebih dari sekadar bibit mangrove—mereka telah menanam harapan untuk masa depan.
“Saya berharap anak-anak saya kelak bisa melihat pantai ini hijau kembali,” kata seorang ibu dari Desa Tolongano sambil memandang lautan. “Mereka bisa bermain di antara akar-akar bakau seperti saya dulu waktu kecil.”
Bagi masyarakat Donggala, program rehabilitasi mangrove ini bukan hanya tentang lingkungan, tetapi juga tentang identitas dan keberlanjutan. Mangrove adalah bagian dari sejarah mereka, dan mengembalikannya berarti mengembalikan bagian dari jati diri mereka sebagai masyarakat pesisir.
Firda menutup refleksi hari itu dengan kalimat yang sederhana namun bermakna: “Mangrove adalah nafas pantai kami. Kalau mangrove sehat, pantai sehat. Kalau pantai sehat, kami juga sehat.”
Program SOLUSI mungkin hanya berlangsung dalam periode tertentu, tetapi semangat yang ditanamkannya di hati masyarakat Donggala akan terus hidup. Dan ketika 25 hektar mangrove itu kelak tumbuh menjadi hutan bakau yang rimbun, mereka akan menjadi saksi bahwa perubahan nyata bisa dimulai dari kesadaran dan aksi kolektif masyarakat lokal.
Di Pantai Baturuko, bibit-bibit mangrove yang baru ditanam itu kini berdiri tegak menghadapi ombak. Mereka mungkin masih kecil, tetapi dalam setiap helai daunnya tersimpan harapan besar untuk masa depan yang lebih hijau. (bmz)